Perintah berzakat mengandung dua demensi, yaitu vertikal kepada sang Khalik sebagai bukti kepatuhan menjalankan perintah-Nya, disamping bersifat horizontal sesama manusia. Bila zakat dapat diimplementasi secara optimal, ia memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan masyarakat cerdas, adil dan makmur. Zakat untuk pendidikan bukanlah hal yang baru, sudah banyak Organisasi Pengelola Zakat mengaktualisasikan program-programnya dalam dunia pendidikan.
Betapa pentingnya masalah pendidikan ini. Sangat banyak ayat al-Qur’an dan al-Hadits memerintahkan untuk menuntut Ilmu, diantaranya sebagaimana terdapat di dalam surat al-Rahman ayat 33, Ali Imran ayat 33 dan lain-lain. Begitu pula halnya dengan hadits, seperti hadits yang memerintahkan untuk menuntut ilmu walau sampai ke negeri china. Hadits agar selamat dunia dan akhirat harus ditempuh melalui menuntut ilmu dan sebagainya. Kemudian ada juga kata bijak dari seorang kebangsaan china yang menyatakan: Give a man a fish, And you will feed him for a meal, But Teach a man how to fish, And you will feed him for life (berikan pada seseorang seekor ikan maka kamu memberi dia hanya sekali makan tapi ajarilah seseorang untuk memancing maka kamu telah memberi dia makan seumur hidupnya).[1]
Pemerintah Aceh menyadari benar tentang pentingnya pendidikan dengan mengalokasikan anggaran APBA triliunan rupiah dalam rangka meningkatkan pendidikan di Aceh. Berbagai program telah disusun sedemikian rupa seperti bea siswa dalam dan luar negeri, bantuan untuk dayah dan madrasah dan sebagainya dalam rangka mewujudkan tujuan mulia tersebut. Namun sepertinya dana yang dialokasikan tersebut masih belum memadai, karena masih ada sebahagian pemuda/i Aceh belum menikmatinya, terutama mereka dari kalangan miskin. Yang lebih parah lagi, hampir menjadi budaya di sebahagian kalangan pemuda/i beranggapan bahwa dana bea siswa merupakan dana yang jatuh dari langit, tanpa usaha apapun, sehingga dana tersebut dapat dihabiskan untuk makan-makan bersama teman sejawat, konsumsi yang bukan tujuan untuk pendidikan dan sebagainya. Budaya seperti ini kiranya dapat diminimalisir atau bahkan harus dihilangkan dengan menanamkan pengertian bahwa dana bea siswa merupakan amanah yang harus dijaga dengan baik.
Dana zakat yang memiliki aspek vertikal dan horizontal bila dialokasikan untuk pendidikan kiranya dapat meminimalisir penyalahgunan terhadap dana bea siswa. Untuk itu, Baitul Mal Aceh sejak tahun 2006 menyalurkan dana zakat dalam program penyaluran bea siswa bagi keluarga miskin yang diambil dari senif Ibnu Sabil. Baitul Mal Aceh mempunyai tafsiran tersendiri terhadap senif Ibnu Sabil yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat Aceh. Tentunya tafsiran yang diberikan harus sesuai dengan syariah sebagaimana terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Senif Ibnu Sabil menurut Baitul Mal Aceh sebagaimana terdapat dicantumkan dalam Surat Edaran Dewan Syariah Baitul Mal Aceh No. 01/SE/V/2006, ialah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Penyalurannya terbagi kepada dua, yaitu penyaluran yang ditujukan untuk bea siswa mulai SD/MIN sampai kepada S3 dan pelatihan untuk ketrampilan. Selanjutnya ialah bantuan untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan.
Pengalaman Baitul Mal Aceh, pada saat penyaluran dana zakat untuk bea siswa, para murid atau mahasiswa dikumpulkan terlebih dahulu guna diberikan arahan dan nasehat tentang dana zakat yang akan mereka terima sebelum dilakukan wawancara. Upaya ini bertujuan agar para murid dan mahasiswa menyadari betul bahwa yang akan mereka terima ialah dana zakat yang memiliki dua aspek (vertikal dan horizontal) dan penerimanya pun harus dari kalangan keluarga miskin. Kemudian dilakukan wawancara untuk memastikan bahwa si penerima dana bea siswa ialah dari kalangan keluarga miskin.
Setelah semua proses berjalan lancar, pada saat penyerahan dana bea siswa dilakukan aqad ijab dan qabul, yang kemudian diahkhiri dengan do’a agar acara yang dilaksanakan mendapat berkah dari Allah SWT.
Upaya yang dilakukan Baitul Mal Aceh hendaknya dapat diterapkan untuk program bea siswa lainnya. Agar nuansa religius lebih menggema, bukan hanya dilihat dari faktorfinancial belaka (uang jatuh dari langit). Bila aspek religius tadi lebih menonjol, tentunya akan melekat pada mereka yang menerima dana bea siswa bahwasanya ini merupakan amanah yang harus dijaga dengan baik, dengan demikian diharapkan penyalahgunaan terhadap dana bea siswa dapat diminimalisir. Sebaliknya bila faktor financial lebih ditonjolkan, dapat dipastikan bahwa penggunaan dana bea siswa tidak sesuai dengan tujuan dari pada program tersebut. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu’Alam Bishawaf.
[1] Berasal dari tulisan Shanty, http://re-searchengines.com/0607shanty.html.
0 komentar:
Posting Komentar